Militansi Blackpink dan Keresahan ‘Buka-Bukaan’
Oleh : Deni Legawa
patron.id – Tulisan ini bermula dari timeline twitter saya di pagi hari yang tiba-tiba riuh oleh petisi ‘Keluarkan Bu Maimoen dari NKRI’. Entahlah seteroris apa ibu ini, yang pasti pemikiran awal saya fokus pada siapa ibu ini, hingga saya menemukan petisi lain yang kontradiktif dengan petisi awal yang saya temukan, hadirlah petisi ‘Boikot Iklan Blackpink‘. Ya, inilah petisi yang menjadi senjata Ibu Maimoen karena keresahannya melihat iklan promosi produk belanja online. Blackpink menjadi bintang iklan produk belanja online ini dengan berbagai gaya dan tentunya tarian khas “Dududu” pada akhir promosi.
Namun yang menjadi titik fokus Ibu Maimoen adalah baju dan rok yang terlalu “buka-bukaan”. Menurut perspektifnya, ia resah ketika iklan ini menjadi sangat sering tampil di televisi ketika anaknya sedang menonton televisi sehingga akan buruk untuk perkembangan anaknya. Sontak, petisi ini langsung direspon oleh para K-Popers Indonesia dengan membuat petisi saingan yang mengajak para pecinta K-pop menandatangani petisi melawan ibu-ibu dengan cara ‘mengeluarkannya’ dari Indonesia.
Perseteruan di media sosial ini pun bertambah keruh setelah kabar dari Komisi Penyiaran Indonesia yang memberikan surat peringatan kepada 11 TV swasta yang menayangkan iklan ini. Pasalnya, dinilai tidak memperhatikan ketentuan tentang penghormatan terhadap norma kesopanan yang diatur dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) KPI tahun 2012.
Dari semua rangkain fakta ini, wajarlah bila muncul asumsi dari netizen seperti “Iklan blackpink ko diboikot? Sinetron peluk cium bebas berkeliaran”. Ya, asumsi semacam inilah yang kadang menjadi pembenaran di media sosial atas tindakan KPI yang dianggap tebang pilih dalam memberikan sanksi. Hal ini memberikan eksternalitas positif kepada kubu K-popers entah berkorelasi tinggi atau tidak.
Dalam perspektif saya, Blackpink hanyalah object sebagai brand ambassador yang sedang menjalankan tugas dan pekerjaannya, tentunya menjadi konsekuensi logis ketika diikuti oleh budaya mereka dalam berpakaian. Itulah juga yang setidaknya diharapkan oleh produk belanja online untuk menarik perhatian netizen dengan menjamurnya K-Poper Indonesia yang harus diakui begitu militan untuk bisa bertemu dengan idolanya.
Disisi lain saya juga merasakan keresahan yang sama dengan Ibu Maimoen dimana budaya asing sangat diapresiasi tinggi oleh kita, bahkan sampai rela twitwar demi mempertahankannya padahal produk luar negeri kadang lebih mengapresiasi dengan pendekatan budaya kita untuk berperang. Misalnya CNN Indonesia yang malah lebih Indonesia daripada media pers lainnya dalam framing pakaian.
Untuk menjawab asumsi dua objek tersebut, Blackpink vs Sinetron, saya berpendapat memang seyogyanya KPI adil bertindak dalam memberikan sanksi. Setidaknya dalam publikasi bahwa KPI juga telah memberikan surat peringatan kepada sinetron yang asli dibuat oleh stasiun tv itu sendiri jika terjadi ketidaksesuaian dengan norma seperti budaya peluk cium anak SMA yang sudah dianggap budaya baru remaja masa kini berkat kehadiran sinetron remaja berlogo R atau D pada jam-jam produktif mengerjakan PR siswa siswi.
Walaupun sebenarnya sinetron yang menampilkan adegan peluk-cium ini masih bisa ditangkal dengan pengawasan orang tua. Ya, memindahkan saluran tv ke acara kartun atau pengajian yang lebih aman semacam ‘Hey Tayo’ atau ‘Mamah Dedeh’. Walaupun pada akhirnya juga akan muncul iklan Blackpink saat jeda tayangan. Iklan akan selalu ada selama televisi swasta masih butuh dana untuk berproduksi, setidaknya untuk memproduksi sinetron remaja beradegan peluk cium. Salam Jawara!
Penulis adalah ketua (Generasi Baru Indonesia) GenBI Banten