PATRON.ID – SERANG | Lembaga Pers Mahasiswa Wahana Inspirasi Mahasiswa (LPM WISMA) menyatakan menolak keras terhadap Revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang dianggap membatasi kebebasan pers dan ekspresi.
Penolakan ini diungkapkan dalam aksi demonstrasi yang digelar oleh Koalisi Pers Mahasiswa Banten (KPMB) di depan Gedung DPRD Banten, Senin 3 Juni 2024.
KPMB terdiri dari LPM Wisma Unsera, LPM Jurnalistik Bidikutama, LPM Extama, LPM Tikom, LPM Lugas, LPM Tintamas, LPM Orange, LPM Dialektika, LPM Sinau, LPM Sigma UIN SMH Banten, dan LPM UPI.
Aksi ini ditunjukan dengan penaruhan ID card pers kampus pada banner putih, pembakaran ban, dan pernyataan sikap KMPB menolak RUU Penyiaran di depan kantor DPRD Banten.
Ketua umum LPM WISMA, Alfindra Akbar, mengatakan berkumpulnya di sini untuk memperjuangkan kebebasan dan hak-hak jurnalis, dalam RUU Penyiaran yang menimbulkan kekhawatiran di berbagai kalangan.
“Hari ini, kita berkumpul di sini bukan hanya untuk menolak, tetapi untuk memperjuangkan kebebasan dan hak-hak kita sebagai jurnalis yang merdeka. RUU Penyiaran yang diusulkan telah menimbulkan kekhawatiran serius di berbagai kalangan, dan kita di sini untuk menyuarakan penolakan kita terhadap ketidakadilan ini,” ujarnya.
Menurut Akbar, LPM WISMA bersama KPMB berkomitmen untuk terus memperjuangkan kebebasan pers di Indonesia, memastikan suara mereka didengar dan hak-hak mereka sebagai jurnalis tetap terlindungi.
Dia berharap pemerintah daerah mampu membuka mata maupun masyarakat dalam mendorong pemerintah pusat agar membatalkan draf RUU Penyiaran.
“Semoga aksi ini diharapkan dapat membuka mata pemerintah dan masyarakat tentang pentingnya kebebasan pers, serta urgensi untuk merevisi ulang RUU Penyiaran agar lebih adil dan tidak diskriminatif,” katanya.
Aksi ini menyoroti beberapa poin revisi yang dianggap bermasalah, di antaranya:
- Pasal 50b ayat 2 poin C melarang jurnalisme melakukan investigasi, dianggap bertentangan dengan UU No. 40 Tahun 1999 tentang kebebasan karya jurnalistik.
- Pasal 50b ayat 2 huruf G melarang konten LGBT atau kaum tertentu, dianggap diskriminatif.
- Larangan menampilkan isu buruk seperti narkoba, merokok, dan alkohol, yang justru bisa digunakan untuk edukasi masyarakat.
- Keperluan izin ke KPI mirip seperti SIUP pada era Soeharto, dianggap sebagai upaya mengekang kebebasan pers.
- Pasal 50b ayat 2 huruf K tentang penyebaran berita bohong dan pencemaran nama baik yang terkait izin KPI, dianggap bisa digunakan untuk menyaring berita dari masyarakat.
- Perizinan ke KPI menjadi hambatan bagi media kecil dalam mewujudkan jurnalisme berkualitas.
- Isu pemerintah memegang algoritma penyiaran, yang berpotensi menimbulkan ketidakadilan dan kecurangan.
- Kewenangan besar KPI yang dinilai kurang efektif, mengingat beberapa kasus sensor berlebihan yang gagal ditangani dengan baik.
Oleh karena itu KPMB menuntut DPR RI dengan beberapa tuntutan diantara lain:
- DPR RI menghentikan pembahasan RUU Penyiaran yang mengandung pasal-pasal kontroversi.
- DPR RI harus melibatkan organisasi pers, akademisi, dan masyarakat sipil dalam penyusunan kebijakan yang berkaitan dengan kebebasan pers dan kebebasan berekspresi.
- Memastikan bahwa setiap regulasi yang dibuat harus sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan kebebasan pers.
- Ketua DPRD Provinsi Banten menandatangani nota kesepahaman, menolak RUU Penyiaran yang kontroversi.(Red)